Turki Di Tengah Politik Global
Tulisan ini membahas secara deskriptif-analitis mengenai posisi Turki di tengah politik global. Sebagai
salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang tidak pernah dijajah oleh negara lain,
Turki ternyata memiliki pengaruh dan posisi politik yang sangat strategis, baik dalam konteks regional Timur Tengah maupun internasional (dengan Barat:Amerika). Bagaimana posisi tersebut
bisa dimainkan oleh Turki? Faktor apa saja yang mendorong Turki mengambil
posisi tersebut? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, sangat diperlukan
pemahaman secara komprehensif tentang dinamika sejarah politik-pemerintahan dan
letak geografis dari negara Turki itu sendiri. Pasalnya, kedua hal inilah yang memiliki
pengaruh besar terhadap perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan
Turki hingga dewasa ini serta pengaruh dan posisinya di tingkat regional
maupun internasional.
Secara histrois, sebagai bangsa di kawasan Timur Tengah yang mewarisi peradaban Romawi, Islam, Arab, dan Persia, Turki pernah tercatat sebagai pusat kekuasaan Islam selama tujuh abad lebih (Abad
XIII-XIX), bahkan namanya sampai disegani di wilayah Eropa (Rofii, 2008: 1). Pada rentang waktu inilah masa keemasan Turki mencapai puncaknya. Yaitu, pada masa pemerintahan dinasti Utsmani (Ottoman Empire) yang berkuasa dengan sistem pemerintahan
monarkhi absolut (Lubis, 2005: 189-190). Di era inilah Turki mengalami
peningkatan pesat dalam bidang militer, pemerintahan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, sastra, keagamaan,
dan arsitektur (Amin, 2010: 209). Tapi pada tahun 1566 (sepeninggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni) masa keemasan Turki mengalami
kemunduran akibat dari tingginya konflik internal perebutan kekuasaan di antara para
pewaris tahta (Lubis, 2005: 190). Akibat konflik ini
beberapa wilayah kekuasaan Turki pun lepas. Kondisi sosial dan politik domestik Turki pun tergannggu.
Akibatnya, pengaruh negara lain (Eropa) yang sebelumnya sulit masuk, pada masa
ini mulai merambah masuk ke Turki dan dunia Islam sampai pada awal abad ke-20 (Antonio,
2012: 158).
Tingginya konflik internal dan potensi ancaman keutuhan wilayah kekuasaan,
akhirnya mendorong pemimpin Turki pada masa berikutnya (Sultan Mahmud II (1826 M) untuk melakukan perubahan pada
sistem pemerintahan. Tradisi aristokrasi digantinya dengan sistem demokrasi (sekuler). Terjadi pemisahan yang tegas antara urusan agama dan politik/pemerintahan.
Berbagai perubahan pun terjadi, mulai dari sistem
kemiliteran (pendidikan militer ala Barat) sampai pada bidang pendidikan (pemaduan
pendidikan agama dan umum). Pada masa ini pula mulai ada banyak pengiriman pelajar Turki ke Eropa. Mereka
inilah yang setelah kembali dari Eropa turut mengadakan pembaharuan di berbagai
bidang kehidupan di Turki (Lubis, 2005: 205). Sehingga pada masa inilah pola
pikir, ide, dan tradisi Barat semakin berkembang di Turki (Nasution, 2011: 88-89). Inilah awal proses sekularisasi yang terjadi di Turki dalam rentangan sejarahnya.
Secara
geografis, Turki memiliki luas wilayah + 814.578 Kilometer persegi.
Sebagian besar wilayahnya (97%) berada di benua Asia, dan 3% (+ 24.378 km persegi) di benua Eropa. Letak geografis yang strategis ini
menjadikan Turki sebagai jembatan penghubung antara Timur Tengah dan Barat (Antonio,
2012 dan Murwati, 2009:23). Di sinilah titik pertemuan dan persimpangan zona
perekonomian antara Benua Asia dan Eropa. Titik pertemuan inilah yang
menjadikan Turki sebagai pusat industri dan perdagangan negara-negara di sekitar
Laut Hitam dan Timur Dekat. Dan posisi geografis yang strategis ini pula pada akhirnya mampu membawa Turki pada pencapaian terbentuknya custom
union antara Turki dengan Uni Eropa (UE) pada tahun 1996 (Murwati, 2009: 31). Dalam konteks inilah, negara Turki modern (dengan sistem
demokrasi sekuler) menjadi salah satu negara di wilayah Timur Tengah yang
diperhitungkan oleh Barat.
Sumber perekonomian negara yang tadinya hanya bergantung pada sektor
pertanian (gandum) dan industri berat (manufacturing: tekstil dan automobil),
belakangan menjadi lebih beragam dan modern. Sektor yang tercatat mengalami perkambangan
pesat ada pada layanan global, seperti pariwisata, produk bangunan, bahan kimia,
dan elektronik. Perkembangan inilah yang kemudian membawa Turki menempati peringkat
ekonomi keenam di Eropa dan ketujuh belas di dunia. Bahkan, setelah terjadi
peningkatan proses privatisasi dan reformasi yang luas dalam sektor ekonomi,
akhirnya Turki pun berhasil masuk ke dalam keanggotaan World Tourism
Organisation (WTO) (Murwati, 2009: 31-33). Di sinilah proses liberalisasi
ekonomi Turki terjadi. Sistem perekonomian tradisional berubah menjadi liberal.
Perubahan yang terjadi sistem
politik-pemerintahan
(dari monarkhi absolut ke demokrasi republik) dan ekonomi (dari tradisional ke
liberal) ini ternyata memberikan dampak yang sangat signifikan bagi Turki dalam membangun hubungan dan pengaruh politik di tingkat regional (Timur Tengah)
maupun di tingkat dunia (Barat). Semakin kompleksnya perubahan yang terjadi di ranah domestik Turki
(ekonomi, politik, sosial dan keamanan) serta semakin dipertimbangkannya posisi
Turki di kancah internasional, seolah mendorong Turki untuk melakukan upaya reorientasi paradigma (Robinson,
1998: 572) atas kebijakan politik luar negerinya. Turki menjadi lebih moderat dan akomodatif terhadap kepentingan semua pihak (Barat maupun Timur
Tengah).
Sebagai contoh, ketika Turki dihadapkan pada krisis ekonomi terburuk dalam rentang sejarahnya pada tahun 2000-2001 (Rofii, 2008: 82-83). Saat itu hubungan Turki dengan negara lain di regional Timur Tengah pun sedang tidak harmonis. Dan, di saat bersamaan, Amerika dan Inggris berkepentingan untuk
menjadikan Turki sebagai sekutu dalam perang Irak. Sekilas, mungkin akan
terlihat posisi dilematis Turki di sini. Satu sisi, Irak merupakan salah satu negara sekutunya
di wilayah Timur Tengah. Tapi di sisi lain,
Amerika menawarkan program perbaikan ekonomi yang memang sedang dibutuhkan oleh Turki untuk mengatasi krisis ekonomi. Peran serta Amerika untuk melobi Uni Eropa dalam rangka penanggulangan krisis ekonomi sangat dibutuhkan oleh Turki. Maka, dengan pertimbangan kepentingan nasional (pemulihan ekonomi akibat krisis), Turki pun akhirnya memilih bersekutu
dengan Amerika saat perang Irak. Namun demikian, persekutuan
ini ternyata bukan bersifat permanen untuk konteks Timur Tengah secara luas. Sehingga
tidak heran, jika dalam beberapa kasus lain, seperti kasus Iran-Amerika dan Palestina-Israel, Turki
lebih memilih bersekutu dengan negara-negara di wilayah Timur Tengah sebagai
alat untuk memperkuat pengaruhnya di dunia Barat. Dengan dalih persekuan Islam, Turki berhasil menekan kepentingan Amerika. Posisi
ini berhasil dimainkan oleh Turki. Dengan dalih nasionalisme (kembali
kepangkuan Islam), ternyata Turki juga berkepentingan memperkuat kembali posisinya
di tingkat regional Timur Tengah dan berhadapan dengan Barat (www.global-review.com,
09-12-2009).
Posisi politik luar negeri Turki di tingkat regional (Timur Tengah) maupun
internasional (Negara Barat), sekilas memang bisa dikatakan tidak konsisten atau bahkan oportunis. Tapi posisi seperti
itulah yang bagi Turki dirasa lebih menguntungkan. Secara sosiologis, pilihan
posisi ini merupakan pilihan rasional (rational
choice) bagi Turki, dengan tujuan/maksud tertentu serta berdasarkan pilihan/preferensi (atau nilai-nilai kegunaan) tertentu pula. Dalam konteks ini, pertimbangan (kepentingan)
dasar ekonomi, politik, maupun keamanan menjadi pertimbangan utama Turki dalam
mengambil sikap politik dalam skala regional Timur Tengah maupun global (Barat).
Sedangkan dalam perpektif hubungan internasional, berdasarkan teori
integrasi: fungsionalisme, posisi politik luar negeri Turki yang demikian
karena dilandasi adanya kepentingan bersama (common
interest) (Nuraeini, 117-120). Posisi Turki sebagaimana di atas,
menunjukkan bahwa pola hubungan dan pengaruh tersebut (baik saat memihak Barat maupun
saat memihak Timur Tengah) didasari atas adanya fungsi yang sesuai dengan tuntutan guna memenuhi kebutuhan
dasarnya. Misalnya, ekonomi, politik, dan keamanan.
Sehingga tidak heran, jika sampai dengan saat ini
atau bahkan pada masa mendatang, posisi
politik Turki, baik dalam skala regional Timur Tengah maupun skala
internasional, akan selalu memainkan peran kunci (strategis). Sebab, Barat
(Amerika) sendiri akan tetap membutuhkan Turki sebagai media untuk masuk ke
dunia Timur Tengah yang berbasis Islam, demi kepentingan ekonomi: minyak dunia.
Karena Turki memiliki basis sejarah keislaman yang kuat dan masih terjaga
sampai hari ini. Sedangkan negara-negara lain di wilayah Timur Tengah sendiri
akan tetap membutuhkan Turki, terutama untuk menjalinan hubungan (terutama
ekonomi dan politik: perdagangan dunia) dengan dunia Barat yang nota-bene sekuler.
Turki meskipun basis nilai-nilai Islam masih kental, tetapi sistem politik
sekuler yang diadopsi Turki akan tetap dianggap oleh sekutunya di Timur Tengah
sebagai modal untuk membangun komunikasi lebih mudah dengan dunia
internasional.
*Essai Terbaik ke II--Dipresentasikan pada Festival Timur Tengah FIB UI 2015
*Essai Terbaik ke II--Dipresentasikan pada Festival Timur Tengah FIB UI 2015
Referensi:
Amin, Syamsul Munir,
Sejarah Peradaban Islam, (Amzah Jakarta 2010).
Antonio,
Muhammad Syafii, Ensiklopedi Peradaban Islam
Istanbul, (Tazkia Publishing Jakarta 2012).
Lubis, Amani, Sejarah Peradaban Islam,
(PSW UIN Jakarta 2005).
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam
Islam; Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (PT Bulan
Bintang Jakarta 2011).
Robinson, William I, Beyond
Nation-State Paradigms: Globalization, Sociology and the Challenge of Transnational Studies, (Sociological
Forum, Vol. 13 No. 4 1998).
Rofii, M. Sya’roni, Partai AKP dan
Ideologi Islam Di Turki Modern, (UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta 2008).
Suparman, Nuraeni (dkk.), Regionalisme
dalam Studi Hubungan Internasiona, (Pustaka Pelajar, Jogyakarta 2010).
Wirawan, I.B., Teori-Teori Sosial
dalam Tiga Paradigam; Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial, (Kencana Prenada Media Group Jakarta
2013).
www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=1036...
www. lib.ui.ac.id/file?file=digital/127268...Industri%20pariwisata-Analisis.pdf.

Komentar
Posting Komentar