Dear Ustadz, Sampai Hari Kiamat Pemaksaan Hubungan Seksual adalah KDRT



Credit gambar: https://bappeda.ntbprov.go.id/covid-19-dan-kdrt/

Baru-baru ini pernyataan dari al-Ustadz Tengku Zulkarain, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, mengenai hasrat seksual seorang suami menjadi hangat diperbincangkan. Pasalnya ketika ia diwawacarai megenai RUU P-KS, ia menyatakan pernyataan yang menimbukan kontroversi. “Kalau sudah mau (melakukan hubungan seksual), tidur aja, gak sakit kok,” begitu pernyataan yang diucapkannya dalam siaran sebuah stasiun televisi.

Hal tersebut jelas menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Bagaimana tidak, Rasul Muhammad, Saw. saja memberikan contoh teladan yang luar biasa baiknya atas kemitraan dengan istrinya. Rasulullah Saw. menganggap istrinya sebagai mitra yang setara, sehingga Rasulullah Saw. pernah menjahit bajunya sendiri. Jika rasul saja mau menjahit bajunya sendiri tanpa merepotkan istri, tentunya untuk urusan yang lebih privat, ia melakukannya dengan lemah lembut, pastinya dengan tidak melukai istri. Contoh teladan-teladan dari Rasulullah seharusya dapat memberikan kenyataan baru atas kemitraan suami-istri dalam Islam dan seharusya juga berhasil merubah pemikiran dan status sosial seorang perempuan, baik di masa itu atau pun di masa sekarang. Perempuan yang tadinya hina dan dipandang sebelah mata, berkat Rasul Saw. keberadaannya dianggap ada dan bahkan diangkat derajatnya.

Sebagai seorang ulama yang memahami berbagai macam fan keilmuan dalam Islam, seharusnya ustadz Tengku Zulkarnain menyampaikan dan mengarahkan kebaikan-kebaikan, kepada ummat, juga mencerahkan ummat, bukan malah menyampaikan hal yang mengarahkan ummat kepada tindakan kekerasan dan superioritas seorang suami dalam sebuah relasi pernikahan. Seharusnya juga ustadz Tengku Zulkarnain harus paling hafal cerita nabi-nabi, terutama cerita kebaikan-kebaikan Rasulullah Saw. kepada istrinya.

Mengapa disebut mengarahkan kepada tindakan kekerasan? Begini penjelasannya, pertama, ada satu legitimasi yang digunakan dan terus-menerus disebar luaskan, mungkin juga Tengku Zulkarnain mempercayai hal ini bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Dalih ini dijadikan senjata untuk bersikap superior dan menganggap perempuan adalah subordinat, sehingga, jika dalih ini dipahami secara literal saja, akan muncul suatu ego yang menyatakan bahwa pembangkangan seorang istri terhadap suami adalah bentuk ketidak patuhan terhadap suami sebagai seorang pemimpin dan juga penolakan terhadap dalih agama tersebut.

Kedua, memang, seorang suami memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari seorang istri sebagai tanda bakti, bukan sebagai pelayan. Begitu juga sebaliknya, seorang istri memiliki hak menerima maklum dari seorang suami ketika seorang istri belum mampu melaksanakan baktinya untuk sang suami. Jadi, jika seorang istri dalam keadaan lelah, bukan berarti ia tidak ingin melayani suaminya, tapi kebesaran hati dan pengertian suami sangat diharapkan untuk kondisi seperti ini. Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan urusan ranjang, harus atas kesepakatan bersama, suami bersedia, istri juga bersedia.

Ketiga, perlu dicatat bahwa relasi pernikahan tidak hanya sebatas urusan ranjang saja, sehingga perempuan yang dinikahi juga bukan sebatas objek penyaluran hasrat. Ada sisi-sisi kemanusiaan yang juga harus diperhatikan. Jika laki-laki berpikir bahwa perempuan hanya sebagai objek seksual sehingga ketika suami sudah “mau”  maka istri harus melayaninya. Maka hal yang akan terjadi di dalam hubungan pernikahan tersebut adalah hanya soal bagaimana istrinya dapat memenuhi hasrat seksual. Jika tidak dapat memenuhi hasrat seksual suaminya dan suami tidak dapat bersabar, bisa jadi suami akan mencari pelampiasan lain.

Keempat, perkosaan dalam relasi pernikahan sangat berpotensi terjadi, karena adanya legitimasi agama yang menyatakan “istri akan mendapatkan laknat sampai pagi ketika menolak permintaan suami.” Sehingga dalam keadaan bagaimanapun, istri harus selalu siap dan patuh menuruti kehendak suami sekalipun tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Jika istri menolak ajakan suami, ia dianggap sebagai pembangkangan dan dicap durhaka sampai mendapatkan laknat.

Kelima, pemaksaan melakukan hubungan seksual dalam relasi pernikahan juga merupakan tindak KDRT. Dalam UU KDRT dijelaskan bahwa tindakan KDRT bukan hanya tindakan menyakiti fisik saja, tapi tindakan kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga, dan kekerasan dalam bentuk seksual. Nah, ustadz sampai hari kiamat pun pemaksaan berhubungan seksual dalam relasi pernikahan termasuk kedalam kategori KDRT.

Kira-kira, ini lima hal yang sepertiya tidak didapatkan dalam pemikiran dan pemahaman berislam ustadz Tengku Zulkarnain. Padahal dirinya tentu lebih fasih berislam dan memahami ketentuan-ketentuan merawat hubungan suami-istri secara islami. Apa lagi hanya urusan ranjang, beuuh ustadz deh yang paling paham soal ini.

Tapi sayangnya ustadz hanya melihat perempuan sebagai objek seksual yang harus siap kapanpun laki-laki mau. Perempuan juga manusia kan tadz?
Selain itu, dari pernyataan ustadz terlihat sekali doktrin agama mengenai huquq al-zaujain (hak-hak suami-istri) yang dipahami al-Ustadz Tengku Zulkarnain terlalu kaku dan tidak mencerminkan ajaran Islam yang secara lugas amat memuliakan perempuan dan pernikahan sebagai mitsaqan ghaliza (perjanjia suci).

Wah, apa jadinya jika panutan ummat seperti ustadz menyebarkan pemahaman berislam yang kaku dan nampak menyeramkan seperti ini? Akankah khalayak muslimah yang menonton, mendengar, dan membaca statement ustadz tidak merasa ngeri ketika mereka berhadapan dengan suaminya? Atau, jangan-jangan setelah ustadz berstatement demikian, hal tersebut menjadi viral dan ditiru para suami-suami yang merupakan pengikut setia ustadz? Atau, para muslimah malah banyak yang meninggalkan ustadz karena statement yang duh tidak layak bercokol di kepala al-Ustadz Tengku Zulkarnain.

Dear ustadz, katanya nafsu perempuan itu sembilan dan akalnya satu? Bagaimana ustadz membuktikan hal tersebut jika tokoh sekaliber ustadz saja malah menunjukkan hal berbanding terbalik dengan doktrin tersebut? Masa iya, mau berhubungan bada saja tidak lihat-lihat situasi dan berkompromi dulu dengan istri? Nah, jadi sekarang yang nafsunya sembilan siapa ya tadz?
Apa ustadz tahu Doktrin tersebut membuat perempuan harus pandai-pandai bersikap dan menjaga uggah-ugguhnya di hadapan siapapun? Bahkan perempuan yang sering mendapat stereotype akibat bayak sekali hal yang diatur baik itu aturan yang berasal dari norma agama ataupun sosial. Seharusnya aturan-aturan tersebut menimbulkan kasih sayang laki-laki sebagai suami agar berlemah lembut terhadap perempuan sebagai istri, karena istri telah mengorbankan banyak hal untuk kesenangan suaminya dan agar tidak dianggap pembangkang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Pengalaman, Beda Perlakuan

Leadership in Student Organization: Leader Mentality Starts From Our Mind

Fenomena Crimes of Honor di Timur Tengah