Fenomena Crimes of Honor di Timur Tengah

       
Sumber Gambar: legacyinwords.wordpress.com

Oleh: E. Ova Siti Sofwatul Ummah

Tulisan ini membahas tentang fenomena kejahatan yang mengatasnamakan kehormatan di Timur Tengah. Secara sederhana tulisan ini diupayakan selain untuk melihat tindakan kejahatannya, juga untuk mengenali bahwa tindak kejahatan di balik dalih menjaga dan menghormati perempuan di Kawasan Timur Tengah, juga terdapat bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri. Mengapa hanya perempuan yang dituntut menjaga diri (kesucian/keperawanan) bahkan menjadi simbol kehormatan keluarga, sedangkan laki-laki tidak dituntut hal yang sama.

Crimes of Honor berarti kejahatan yang mengatasnamakan kehormatan menjadi sorotan utama dalam artikel ini. Menurut Lama Abu Odeh (Mai Yamani (ed.) 2000:206), Crimes of Honor adalah pembunuhan perempuan oleh Ayah atau saudara laki-laki karena terlibat atau disangka terlibat dalam praktik-praktik seksual sebelum atau di luar nikah. Istilah Crimes of honor ini muncul ketika seorang perempuan dianggap gagal dalam menjaga kehormatan dirinya, sehingga dianggap gagal pula menjaga kehormatan keluarganya.
 Kegagalan dalam menjaga kehormatan yang dimaksud di sini ialah ketika misalnya, seorang perempuan kehilangan keperawanannya atau didapati sedang bersama dengan laki-laki yang tidak ada hubungan darah dengannya. Maka crimes of honor dianggap sebagai jalan atau solusi untuk mengembalikan nama baik keluarga. Sebab, crimes of honor adalah bagian dari sistem sosial dan merupakan pedoman dari norma dan budaya masyarakat di Timur tengah (Malini, 2010).
 Sistem sosial akan berjalan seiringan dengan struktur masyarakat yang tentu memiliki proses sosial yang kompleks di dalamnya. Proses sosial yang kompleks ini kemudian menyebabkan lahirnya ide-ide dan nilai-nilai dalam lingkungan masyarakat (Johson, 1986:83). Di mana, nilai-nilai budaya merupakan tingkat tertinggi dan abstrak yang dapat mempengaruhi tindakan manusia.
 Nilai-nilai budaya biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata karena berada dalam tataran emosional individu. Karena Individu sejak dini telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat, maka konsep-konsep tersebut pun mengakar pada jiwa mereka. Kondisi tersebut terjadi dalam masyarakat di Timur Tengah, di mana kehormatan menjadi salah satu nilai moral yang ada dalam masyarakat Timur Tengah, bahkan menjadi bagian dari budaya Timur Tengah.
 Bagi masayarakat Timur Tengah, nilai kehormatan merupakan salah satu nilai moral yang telah mengakar sejak jaman pra-Islam. Bahkan nilai ini dianggap sebagai bagian dari karakter orang Timur Tengah. Keterkaitan antara nilai-nilai dalam masyarakat akan membentuk suatu sistem. Dalam hal ini, sistem sosial kehormatan atau rasa malu merupakan pedoman dari konsep ideal kehormatan (Malini, 2010).
 Sejalan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan menjadi lambang kehormatan keluarga dalam masyarakat Timur Tengah. Salah satu ukuran dari kehormatan itu adalah dengan menjaga keperawanan. Maka tidak heran jika menjaga keperawanan bagi perempuan Timur Tengah sebelum menikah itu sangatlah penting. Sebab, perempuan Timur Tengah menurut model yang ideal, diharapakan jauh dari praktik seksual sebelum menikah. Maka, malam pernikahan (malam pertama) mempunyai nilai penting bagi perempuan Timur Tengah dalam membuat pertimbangan atas kesusilaan mereka dihadapan masyarakat pada umumnya. (Yamani (ed.), 2000: 218).
 Hal tersebut bisa dibuktikan dengan budaya yang terkonstruk di Timur Tengah itu sendiri, bahwa kehormatan bisa ditakar ketika seorang perempuan mengeluarkan darah pada malam pertamanya. Jika perempuan itu tidak mengeluarkan darah ia dipandang sebagai suatu kegagalan dalam ujian sosial. Dalam skenario berikutnya perempuan tersebut ”dipulangkan” oleh pengantin pria (Yamani (ed.), 2000: 219). Jika memang demikian, maka pihak keluarga perempuan akan merasa lebih baik anaknya kehilangan mata atau anggota tubuh lainnya, bahkan kematiannya, ketimbang harus menanggung malu atas kegagalan anak perempuannya dalam menjaga kesucian. Fenomena pembunuhan terhadap perempuan inilah yang disebut dengan crimes of honor. Sebab perempuan sebagai kehormatan keluarga dianggap telah menyimpang atau menodai nilai kehormatan.
 Kehidupan perempuan Timur Tengah yang ditentukan (didominasi) oleh laki-laki, membuat tingkah laku mereka dikendalikan oleh nilai-nilai moral dalam mayarakat yang kental akan budaya patriarkalnya. Sehingga pelanggaran terhadap nilai-nilai moral tersebut dapat menyebabkan kematian bagi mereka. Sistem sosial masyarakat Timur Tengah yang berlandaskan kehormatan menyebabkan begitu banyak kasus pembunuhan yang terjadi dengan alasan membersihkan kehormatan (Malini, 2010).
 Menurut Amy Handerson dalam The Jordan Times edisi 30 Maret 1998 menyebutkan bahwa dalam dekade ini, 200 perempuan Yordania telah dibunuh atas dalih membela kehormatan keluarga. Selain itu, dalam laporan Human Right Watch dalam The Jordan Times melaporkan jumlah kasus crimes of honor di Yordania pada tahun 2001 mencapai 19 kasus, dan pada 2002 sebanyak 22 kasus. (www.jordanembassyus.org/033098004)
 Fenomena kejahatan atau pembunuhan demi kehormatan, secara sosiologis bisa dikatakan sebagai bentuk dari penyimpangan sosial (Social Anomy), sebagaimana diungkapkan oleh Emile Durkheim dalam bukunya The Division of Labor in Society (1893) bahwa keadaan yang tidak deregulasi sebagai bentuk dari tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat. Keadaan deregulation atau normlessness inilah yang menimbulkan perilaku menyimpang.
 Sedangkan menurut Robert K. Merton (1938), penyimpangan itu bisa terjadi ketika individu dalam masyarakat tidak lagi menggunakan sarana yang tersedia (berbeda) untuk mencapai sebuah tujuan. Sebab, menurut Merton, dalam setiap masyarakat itu terdapat tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Dan untuk mencapai tujuan tersebut terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan. Tetapi dalam kenyataan tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Sehingga menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan.
 Atas dasar perspektif tersebut, bisa dikatakan di sini bahwa fenomena Crimes of honor yang terjadi di Timur Tengah merupakan bentuk dari penyimpangan sosial. Memang apa yang dilakukan oleh seorang perempuan, seperti bersama laki-laki lain yang tidak memiliki hubungan darah atau melakukan hubungan seksual pra-nikah dianggap melanggar norma (norma kehormatan), sehingga memicu tindakan kekerasan atau bahkan pembunuhan. Tetapi perilaku laki-laki yang melakukan kekerasan bahkan pembunuhan terhadap perempuan itu juga merupakan bentuk dari sebuah penyimpangan. Karena si pelaku pembunuhan maupun kekerasan terhadap perempuan tersebut termasuk dalam kategori melanggar hak asasi (hak hidup) dari si perempuan itu sendiri (Universal Declaration of Human Rights).
 Selain sebagai bentuk social anomy, crimes of honor juga bisa dikatakan sebagai bentuk dari penindasan baru terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari adanya budaya masyarakat di Timur Tengah yang hanya menjadikan perempuan sebagai lambang dan tolak ukur bagi kehormatan keluarga. Artinya, di sini terlihat jelas adanya pembedaan (discrimination) antara perempuan dan laki-laki. Hanya kaum perempuan saja yang dituntut menjaga diri (kesucian/keperawanan) bahkan menjadi simbol kehormatan keluarga, sedangkan laki-laki tidak dituntut hal yang sama.
 Bentuk diskriminasi inilah yang penulis sebut sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Budaya seperti ini, menurut Freud (Ritzer&Goodman, 2004:428) dikatakan bahwa sistem patriarki adalah sebuah sistem di mana seluruh laki-laki dalam tindakan sehari-hari mereka dengan penuh semangat terus-menerus bekerja untuk mencipta dan melestarikan sistem patriarki. Apa yang terjadi di masyarakat Timur Tengah, yakni pemeliharaan norma bahwa perempuan itu menjadi ukuran kehormatan keluarga tentu ada peran serta laki-laki dalam pelestariannya. Sehingga norma tersebut sampai hari ini terus bertahan.
 Tetap bertahannya budaya crimes of honor sampai hari ini pada akhirnya mengakibatkan adanya pembatasan ruang gerak atau peran sosial perempuan. Padahal, idealnya laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam kehidupan sosial.
 Lebih dari itu, budaya crimes of honor dalam perspektif feniminisme psikoanalisis juga terkait dengan peran serta laki-laki dalam upaya pelestarian budaya patriarkal. Di mana, laki-laki menanggapi dengan ketakutan mendalam atas kemungkinan kematian individual mereka dan mengambil sederet panjang yang kesemuanya menuju pada dominasi mereka terhadap perempuan. Lelaki terpaksa menciptakan barang yang dapat memperpanjang kehidupan mereka seperti kekayaan dan senjata, ilmu, dan agama. (Ritzer&Goodman, 2004:429).
 Dengan kata lain, budaya crimes of honor di Timur Tengah merupakan bentuk proteksi perempuan dengan dalih menjaga kehormatan keluarga adalah sebuah tindakan yang sengaja diciptakan demi kelanggengan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
 Hal selanjutnya yang harus diungkap adalah mengapa terjadi pembedaan dalam konsep kehormatan itu sendiri? Tentu budaya yang sudah diwarisakan secara temurun-temurun memiliki peran sentral di sini. Proses pewarisan budaya ini tentu tidak lepas dari peran sosial keluarga sebagai institusi dasar dalam mengkonstruk budaya patriarkal. (Malini, 2010).
 Dengan demikian semakin jelas bahwa posisi perempuan di Timur Tengah bisa dikatakan masih menjadi the others. Keberadaan perempuan dianggap sebagai pihak lain, pihak kedua, bahkan perannya masih dianggap terbatas pada wilayah domestik (dapur, sumur, kasur) (Ritzer&Goodman, 2004:417).
 Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa selain merupakan bentuk penyimpangan sosial, crimes of honor dengan dalih memproteksi perempuan demi kehormatan adalah penindasan baru terhadap perempuan. Keperawanan perempuan yang menjadi lambang kehormatan adalah bias gender. Hanya keperawanan perempuan saja yang menjadi tolak ukur sebuah kehormatan keluarga, sedangkan keperjakaan laki-laki tidak menjadi tolak ukur kehormatan keluarga.
 Menyikapi fenomena crimes of honor ini tentu dibutuhkan pendidikan dengan mengedepankan perspektif gender equality bagi masyarakat, agar budaya patriarkal dan kejahatan atas kehormatan dapat diminimalisir atau bahkan dihapuskan. Pendidikan ini harus ditanamkan sejak dini, baik secara formal maupun informal, sehingga bias gender dapat terhapuskan. Konstruk budaya hendaknya mengarah kepada pembebasan perempuan dalam memilih peran sosialnya. Dan hendaknya, langkah alternatif ini menjadi tugas jangka panjang bersama seluruh lapisan masyarakat.

*Essai Terbaik ke III--Dipresentasikan pada Festival Timur Tengah FIB UI 2014


Daftar Pustaka
Lemert, Charles (ed), Social Theory the Multicultural and Classic Readings, Westview Press USA, 2004.
Jonhson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia, 1986
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, 2004
Yamani, Mai (ed), Feminisme dan Islam, Nuansa Cendikia, 2000
Malini, Febi, Fenomena Sosial-Budaya di Yordania, UI, 2010

Komentar

  1. Pribadi: baik itu perempuan atau laki-laki tidak boleh melakukan seks pra-nikah karena apabila dikatakan kepada diri sendiri juga pasti menjerit, mana ada orang tua yang mau anaknya tidak perawan atau perjaka. Terkait nilai memang susah untuk dirubah apabila tidak ada norma-norma (yang mengatur secara tertulis) karena pada dasarnya manusia itu dapat menimbang benar-salah, baik-buruknya yang memang hanya kurang wawasan mendalam terhadap tema tersebut. Mungkin bisa dibuka untuk kajian dari berbagai jenis atau rupa untuk mendapatkan sumber-sumber informasi yang nantinya dapat dikolektifkan sebagai bahan dasar untuk membuat norma-norma itu sendiri.
    #sakituwae

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Pengalaman, Beda Perlakuan

Leadership in Student Organization: Leader Mentality Starts From Our Mind