Kiyai Arsyad; Kiyai Tegal Menes yang Makamnya Mutassil dengan Makam Rasulullah Saw.
![]() |
Sumber gambar: http://www.erabaru.net |
Oleh: Sofwatul Ummah
Sosok Kiyai Tubagus Arsyad
Kiyai Tegal adalah julukan yang
diberikan kepada Tubagus Arsyad, seorang ulama yang lahir di Desa Tegal
(sebutan Menes sekarang) dan salah satu pendiri Mathla’ul Anwar Menes
Pandeglang Banten pada tahun 1916 M (pada 1926 lembaga tersebut disempurnakan
menjadi Mathla’ul Anwar Li Nahdlotil Ulama (MALNU). Ia mendirikian MALNU
bersama KH. Tb Soleh Kananga, KH. E. Muhammad Yasin, dan KH. Mas Abdurrahman
bin Jamal, selanjutnya empat ulama pendiri MALNU tersebut dijuluki dengan
sebutan "empat serangkai" dan keempat ulama tersebut adalah murid dari Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani.
Setelah dirasa cukup nyantri oleh Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kiyai Tb. Arsyad diizinkan
untuk kembali ke tanah air dengan tujuan luhur yaitu mendidik umat dan
mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya di tanah Hijaz. Melihat kondisi tanah
kelahirannya yang memprihatinkan, atas dasar rasa tanggung jawab serta kecintaannya
terhadap ilmu, umat, dan bangsa, ia mendirikan MALNU bersama tiga ulama lainnya
sebagai ikhtiyar untuk mengukuhkan Islam di tanah kelahirannya. Melalui MALNU,
empat serangkai mendedikasikan hidupnya untuk mendidik umat dan mengorbankan segala
yang dimiliki, sekalipun nyawa yang menjadi taruhan.
Kolaborasi Kiyai Tb. Arsyad dan tiga
ulama pendiri MALNU di tanah Menes memang merupakan kolaborasi yang luar biasa
serta membawa angin segar. Hal tersebut terbukti dengan berbondong-bondong masyarakat
berdatangan dengan harapan diterima sebagai santri oleh sosok ulama-ulama yang
terkenal wara’ ,‘alim, mukhlis, dan memiliki pemahaman keilmuan yang luas.
Selain berjuang untuk mendidik umat,
Kiyai Tb. Arsyad juga berjuang untuk melawan kolonialisme. Kedalaman ilmu membuatnya
tidak pernah merasa gentar sekalipun ia dan santri-santrinya mendapat
intimidasi dari kolonial, atau bahkan sekalipun nyawanya teracam. Dikalangan kolonial, ia dianggap tokoh yang harus
diperhitungkan dan bahkan dilenyapkan karena ia menolak untuk bekerjasama
dengan para kolonial. Akibatnya berkali-kali rumah dan pesantrennya dibakar. Terpaksa
ia dan santri-santrinya yang mukim bersamanya harus berpindah-pindah tempat. Intimidasi
semacam itu pun tidak melunturkan keberanian dan semangatnya untuk tunduk pada
kolonial. Setelah berpindah-pindah tempat akibat intimidasi, akhirnya ia dan
santri-santri menetap di sebidang tanah yang lokasinya berada di sebrang dengan
Alun-alun Menes. Semenjak itu masyarakat memanggil nya dengan sebutan Kiayi
alun-alun.
Ia menyadari betul bahwa santri atau tamu yang datang kepadanya tidak hanya laki-laki saja, maka dari itu satu kekhawatiran muncul ialah khawatir memiliki pandagan berlebih kepada lawan jenis (dalam hal ini adalah santri atau tamu perempuan). Kekhawatiran tersebut menggetarkan hatinya dan berdoa agar penglihatannya dibatasi.
Ternyata do’a tersebut dikabulkan Allah Swt., hal demikian ia rasa lebih baik terjadi untuk menjaga pandangannya agar fokus untuk mengaji bersama santri dan mendidik masyarakat tidak terpecah. Selain itu, dengan diambil penglihatannya ternyata juga memiliki manfaat lain yaitu dapat mengelabui para londo yang terus mengintainya. Begini, para londo beranggapan bahwa dengan kebutaan Kiyai Tb. Arsyad maka ia tidak dianggap lagi berpengaruh di tengah masyarakat. Padahal, dengan kondisi tidak dapat melihat, Kiyai Tb. Arsyad masih dapat mengaji dan membimbing santri, malah ia lebih leluasa karena tidak diawasi aktifitasnya oleh lond-londo.
Ternyata do’a tersebut dikabulkan Allah Swt., hal demikian ia rasa lebih baik terjadi untuk menjaga pandangannya agar fokus untuk mengaji bersama santri dan mendidik masyarakat tidak terpecah. Selain itu, dengan diambil penglihatannya ternyata juga memiliki manfaat lain yaitu dapat mengelabui para londo yang terus mengintainya. Begini, para londo beranggapan bahwa dengan kebutaan Kiyai Tb. Arsyad maka ia tidak dianggap lagi berpengaruh di tengah masyarakat. Padahal, dengan kondisi tidak dapat melihat, Kiyai Tb. Arsyad masih dapat mengaji dan membimbing santri, malah ia lebih leluasa karena tidak diawasi aktifitasnya oleh lond-londo.
Dalam keadaan penglihatan yang terbatas, Kiyai Tb. Arsyad terus membimbing santri-santrinya, memimpin pengajian, membacakan berbagai kitab yang dikuasainya terutama kitab-kitab anggitan Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani yang amat dihormati dan dicintainya. Sesuai harapannya, dengan penglihatan yang terbatas, ia dapat menjaga pandangannya dan bebas dari intaian londo. Ia sukses mengelabui londo. Pengajian terus berlajut bersama santri-santri yang kian hari kian bertambah.
Tapi bagaimana bisa Kiyai Tb. Arsyad tetap memimpin pengajian? padahal penglihatannya terbatas, ya, Kiyai Tb. Arsyad hafal kitab-kitab yang dikajinya dengan sempurna, sehingga penglihatan yang terbatas bukan penghalang baginya untuk tetap dapat memimpin pengajian.
Makam yang Muttasil dengan Makam Rasulullah Saw.
Ada cerita turun temurun yang terus
diceritakan dari mulut ke mulut tentang sosok Kiyai Tb. Arsyad. Cerita tersebut
selalu dikisahkan kepada seluruh dzuriyyahnya dan juga kepada seluruh calon
santri-santri MALNU Menes ketika kegiatan orientasi. Cerita yang masyhur didengar dan
selalu membuat hati bergetar adalah cerita ketika pemakaman Kiyai Tb. Arsyad.
Ketika pembacaan talqin yang dipimpin oleh Waliyullah Syekh Asnawi
(Kiayi Agung Caringin), Kiyai Agung Caringin menangis sesegukan, tapi selang
beberapa waktu tangisnya berubah menjadi tawa bahagia, seolah Kiyai Agung
Caringin tidak merasa kehilangan sosok sahabat juga saudara sepupunya yang
merupakan ulama yang wara’ dan ‘alim. Sontak peristiwa tersebut menjadi
perhatian para pelayat yang ikut mengantarkan Kiyai Tb. Arsyad ke tempat
pembaringan terakhirnya sehingga menimbulkan pertanyaan, "apa yang dirasakan dan
dilihat oleh Kiyai Agung Caringin tersebut?"
Selesai acara pemakaman, KH Mas
Abdurrahman bin Jamal yang dijuluki dengan Bahrul Ulum, bertanya
Kepada Kiai Agung Caringin, "mengapa Kiayi menangis dan kemudian tertawa ketika
pemakaman dan pembacaan talqin tadi?" begitu kira-kira pertanyaan yang dilontarkan kepada Kiyai Agung Carigin. Jawab Kiyai Agung Caringin, "bagaimana
aku tidak menangis ketika ditinggalkan sahabat sekaligus saudara serta ulama ‘alim
‘alamah, sedangkan sosok seperti Kiyai Tb. Arsyad dalam puluhan tahun ke depan
belum tentu ada penggantinya. Itulah yg membuatku menangis sedih. Namun,
Tiba-tiba aku melihat cahaya terang benderang dari dalam kubur Kiayi Tb. Arsyad
dan cahaya itu tembus sampai makam Kanjeng Nabi Muhammad Saw. maka seketika itu
aku tertawa bahagia. Tempat peristirahatan Kiyai Tb. Arsyad muttashil dengan makam Rasulullah Saw."
KH Mas Abdurrahman bin Jamal tentu
mempercayai apa yang disampaikan oleh sosok ulama yang mendapat julukan Kiyai
Agung tersebut. Karena penglihatan tersebut tidak dapat dimiliki oleh orang
yang tidak memiliki ma’rifatullah. Sehingga kesedihan yang menyelimuti
ulama-ulama yang hadir di pemakaman sedikit berubah menjadi sebuah perasaan
lega. Kiyai Tb. Arsyad sudah berkumpul bersama Rasulullah Saw. dan berharap
kelak santri-santrinya dapat ikut serta bersama Kiyai Tb. Arsyad dan berkumpul
bersama Rasulullah Saw.
Begitulah keikhlasan dan perilaku
luhur yang dimiliki oleh Kiyai Tb. Arsyad dan dijawab dengan keistimewaan yang
langka. Tempat pembaringan terakhirnya muttashil dengan makam Rasulullah
Saw.
Kiyai... panggil kami santri-santrimu kelak untuk berkumpul bersamamu dan juga bersama Rasulullah Saw.
Sumber kisah:
Kiyai Tb. Ahmad Irfan Al-Hafidz bin Almagfurllah Mamanda KH
Tb Ma'ani bin KH. Tb Rusydi bin KH. Tb. Arsyad.
Lahum Alfatihah.
Wallahu A'lamu Bissowab.
Amin ya Allah....
BalasHapusTulisan yg bikin aku berkaca2.. semoga kelak kita bisa bersama beliau di hari akhir
Amin... alf amin... semoga kita semua diakui santri-santrinya mbah Arsyad
HapusAlluhumma Aamiin, semoga kelak bisa berkumpul disyurganya Allah SWT, bersama Rasullah SAW, bersma para guru & Kyai, KH.TB Arsyad Menes serta para keluarga beliau atas keberkahan ilmu yang beliau ajarkan pada murid-muridnya InsyaAllah💕💕
BalasHapusAmin... amin... insyaallah
HapusAku pernah denger cerita ini pernah, dari mana ya tapi lupa heuheu
BalasHapuskalau alumni menes, atau pernah ke menes, atau berteman dengan santri atau alumni menes, pasti pernah denger cerita itu, hoho
HapusKeren tulisan nya ketua
BalasHapusAmpun bu Nyai
Hapus