Kiyai Tubagus Rusydi: Dari Pejuang Kemerdekaan, Ketua Pelaksana Muktamamar NU Ke-13, Hingga Menjadi Syuhada
![]() |
Sumber gambar: http://www.nu.or.id |
Oleh: E. Ova Siti Sofwatul Ummah
Kiyai Tubagus Rusydi adalah salah
satu putra dari Kiyai Tubagus Arsyad (salah satu pendiri MALNU) dengan Nyai
Ratu Salamah. Karakter Kiyai Tubagus Rusydi yang dikenal zuhud dan andap
asor, diturunkan dari ayahandanya. Buah jatuh memang tidak akan jauh dari
pohonnya. Begitu kira-kira pepatah yang pantas disematkan kepada Kiyai Rusydi
karena kesamaan karakter dengan ayahandanya.
Karakter yang demikian kuat membuat
Kiyai Rusydi dicintai dan dekat dengan masyarakat. Kecintaan masyarakat
terhadap Kiyai Rusydi dapat dibuktikan ketika Kiyai Rusydi keluar rumah untuk
membeli kebutuhan rumah tangganya. Dapat dipastikan Kiyai Rusydi akan dihampiri
masyarakat yang melihatnya hanya untuk sekedar mencium tangan atau alakadar
berbincang singkat. Alhasil, setiap keluar rumah dapat dipastikan ia tidak akan
kembali dalam hitungan menit, ia pasti membutuhkan waktu berjam-jam. Padahal
hanya untuk membeli beberapa kebutuhan rumah yang sudah direncanakan sebelumnya.
Sebagai penerus dari madrasah yang
didirikan oleh ayahandanya pada tahun 1916 M,
mengaji dan melayani umat adalah keseharian Kiyai Rusydi. Waktu dan
segala hal yang dimiliki oleh Kiyai Rusydi ia dedikasikan untuk umat.
Selain mengaji dan melayani umat,
Kiyai Rusydi juga dengan penuh takdzim dan sabar ikut turut membentangkan
bendera NU di tanah Banten. Tentu awal mula pendirian NU tidak serta merta
dapat diterima masyarakat, khususnya di Banten, tanah jawara. Ayahnya masyhur
dikenal sebagai salah satu utusan ulama Banten yang hadir saat pembentukan Jami’iyah
Nahdlatul Ulama dan menyetujui hasil
kesepakatan pada pertemuan pembentukan Jami’iyah Nahdlatul Ulama, yaitu
setiap murid dari Syaikh Munhammad Nawawi Al-Bantani yang memiliki lembaga
pendidikan, maka nama belakang lembaga tersebut dilengkapi dengan kalimat
Linadlatil Ulama.
Pada tahun 1938, Ormas Islam terbesar
di Indonesia, yakni Nahdlatoel Oelama (NO)—NU sekarang—menyelenggarakan
muktamar ke-13 yang bertempat di Menes, tanah para pejuang dan tanah dimana NU
di Banten pertama kali disyi’arkan.
Muktamar ke-13 dimulai sejak hari Sabtu pahing 11 Juni, bertepatan
dengan 12 Robiul Awal 1357 H. Dan berakhir hari Kamis pahing, 17 Robiul Awal
1357 H. Dalam muktamar ke-13 tersebut turut hadir diantaranya KH Wahab
Hasbullah, KH Raden Asnawi Kudus, KH Wahid Hasyim dan para ulama sepuh lainnya.
Pada muktamar ke-13 di Menes, Kiyai
Rusydi adalah ketua panitia dalam pertemuan akbar tersebut dan tentunya
memiliki andil yang sangat besar dan membutuhkan persiapan yang matang.
Bagaimana tidak, Menes akan didatangi ulama, kiyai, nyai dan warga Nahdliyin
se-Nusantara. Tentu hal tersebut adalah kesempatan istimewa dan langka. Bahkan
menjadi ketua panitia adalah hal yang tidak mungkin ditolak oleh Kiyai Rusydi.
Ia menggerakan santri dan masyarakat sekitar untuk rambati ratahayu
mempersiapkan segala hal, seperti mengumpulkan bambu dan kayu untuk membangun
panggung dan tenda untuk arena muktamar, menyiapkan kitab yang akan dipakai
ketika muktamar, menyiapkan logistik untuk menjamu para nahdliyyin se-Nusatara,
hingga menyiapkan tempat istirahat untuk para peserta muktamar.
Dalam muktamar NU ke-13 tersebut
membahas berbagai masalah, diantaranya tentang perekonomian, pertanian,
perbankan dll. Muktamar ke-13 Menes itulah awal lahirnya Muslimat NU, wadah
husus bagi perkumpulan perempuan Ormas Nahdlatul Ulama.
Muktamar NU ke-13 itu juga dipantau
oleh seorang Orientalis terkenal yaitu Dr. Pijper, yang saat itu menjabat
sebagai kepala Adviseur voor Inlandseche Zaaken (penasehat urusan Rakyat
Pribumi), yang menulis banyak tentang perkembangan Islam awal abad ke-19 hingga
abad ke-20. Berita penyelenggaraan dan segala hal yang berkaitan dengan
muktamar NU ke-13 di Menes dimuat di surat kabar harian dengan menggunakan
bahasa Melayu & bahasa Belanda, Sehingga Menes daerah terpencil menjadi
masyhur keseluruh Hindia Belanda.
Pada masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia, setiap kiyai NU identik sebagai pengurus NU, dan sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena
resolusi jihad NU ‘hubbul wathan minal iman’ yang menjadi api semangat
untuk para kiyai dan santri bertarung nyawa. Bahkan setiap kiyai memiliki
pleton khusus yang dilatih dengan skill militer dan dengan skill kanuragan
sebagai salah satu bekal untuk bergeriliya di medan perang. Demikian juga
dengan Kiyai Rusydi, bukan hanya sebagai panglima pleton tapi ia juga dianggap
berbahaya sehingga yang menjadi buronan
para kolonial. Bukan hanya buron ketika hidup, bahkan mati sekalipun jasadnya akan
tetap dicari.
Abah H. Enjim, saksi hidup ketika
Kiyai Rusydi menjadi buronan kolonial, menuturkan kepada salah satu cucu dari
Kiyai Rusydi, bahwa beberapa hari sebelum penembakan Kiyai Rusydi di Masjid
Ciherang, Kiayi Rusydi memang sudah diburu oleh pasukan Belanda. Kiyai Rusydi
beserta santri-santrinya berpindah-pindah tempat dari kampung satu kekampung
lainnya. Namun tempat persembunyian mereka selalu diketahui oleh Belanda. Hal
tersebut terjadi karena ternyata ada mata-mata dalam barisan pleton tersebut.
Sepanjang malam sebelum penembakan
yang menyebabkan Kiyai Rusydi syahid, ia terus diburu sambil dihujani peluru.
Pada akhirnya ketika waktu sholat subuh Kiayi Rusydi bersama para
santri-santrinyanya berhenti di Masjid Ciherang dan ternyata Allah SWT
menghendaki beliau Syahid di Masjid itu. Mata-mata pengkhianat Kiyai Rusydi
mungkin sudah melaporkan keberadaan Kiyai Rusydi beserta santrinya untuk
melaksanakan shalat subuh berjama’ah di masjid Kampung Ciherang. Di bagian
mimbar imam sudah dipasang senjata yang dipastikan dapat menghancurkan batok
kepala Kiyai Rusydi yang sedang mengimami shalat subuh berjama’ah masyarakat
sekitar dan pletonya.
Seketika, pada saat Kiyai Rusydi
mengangkat kedua belah tangan untuk qunut, ia roboh akibat dari
berondongan peluru yang mengarah ke batok kepalanya. Ia pun syahid dan segera
dishalatkan dan dikafani tanpa dimandikan terlebih dahulu oleh penduduk
setempat dan santri-santrinya, dengan keyakinan bahwa Kiyai Rusydi telah
syahid.
Tidak sampai disitu, ternyata tentara
Belanda menginginkan Jasad Kiayi Rusydi, akhirnya para santrinya membawa lari
sampai kelereng gunung Pulosari—kampung Moncor—dan dimakamkan dikampung Moncor.
Hal tersbut dilakukan oleh para santrinya agar para londo tidak dapat
menemukan makam Kiyai Rusydi dan mengambil jenazahnya untuk diserahkan kepada
palinglima tertinggi tentara Belanda di Kerasidenan Banten.
Kiyai Rusydi wafat pada tahun 1948 ketika
mengimami shalat subuh di Masjid Kampung Ciherang. Ia syahid sebagai bunga
bangsa yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di balik nikmat
kemerdekaan yang kita rasakan sekarang, banyak Rusydi-Rusydi lain yang
meninggalkan kebahagiaan bersama keluarga dan orang tercintanya dan lebih memilih
turun ke medan perang untuk merebut tanah kelahiran dan memukul mundur para londo.
Kiyai Rusydi, jasamu tak akan lekang dan surga bersamamu.
Sumber kisah:
Kiyai Tb. Ahmad Irfan Al-Hafidz bin Almagfurllah Mamanda KH
Tb Ma'ani bin KH. Tb Rusydi bin KH. Tb. Arsyad.
Lahum Alfatihah.
Wallahu A'lamu Bissowab.
Alfatihah.....
BalasHapus