Beda Pengalaman, Beda Perlakuan
![]() |
Credit by Pinterest |
Hi Puan-puan dan Tuan-tuan, tulisan ini ditulis sebagai refleksi diri dan rasa syukur atas
terpilihnya saya sebagai salah satu muslimah untuk program @muslimahforchange yang diselenggarakan oleh @pendidikanpesantren dan @wahidfoundation,
maka dengan senang hati saya akan membagikan salah satu pengetahuan yang keren
dalam salah satu sesi di program tersebut, tentunya disampaikan oleh pembicara
yang keren juga, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta yang
sudah malang melintang di dunia per-gender-an.
Tulisan ini juga semata ditulis dengan tujuan untuk menyebarluaskan prinsip kesalingan di antara Puan dan Tuan para pembaca. Namun sebelumnya, para pembaca jangan merasa tabu dengan hal-hal yang
akan dipaparkan di bawah ini. Mari membiasakan diri untuk tau lebih luas dan
mendalam mengenai pengetahuan yang selama ini dianggap tabu dan tidak layak
didiskusikan di ruang publik.
Pada sesi Pemberdayaan Perempuan dalam Islam. Setidakya ada dua
hal yang menjadi cetak biru dan sangat penting untuk menjadi perhatian puan-puan
dan tuan-tuan. Hal tersebut adalah adanya perbedaan pengalaman biologis dan
sosial di antara laki-laki dan perempuan. Mari disimak penjelasannya di bawah
ini.
Gaes, yang dimaksud pengalaman biologis maksudnya seperti ini, tentunya
sudah lumrah mengetahui bahwa setelah baligh perempuan akan mengalami menstruasi.
Setelah menikah perempuan memiliki potensi untuk hamil, kemudian melahirkan,
nifas, dan menyusui. mengapa kelima hal tersebut terjadi pada
perempuan? karena perempuan memiliki organ reproduksi seperti vagina, sel
telur, indung telur, rahim, dan yang terakhir adalah kelenjar
mamae. Nah, kelima hal tersebut tentunya tidak dialami oleh laki-laki, maka
inilah yang dimaksud dengan perbedaan pengalaman biologis antara perempuan dan laki-laki.
Bagaimana dengan pengalaman biologis laki-laki? setelah baligh laki-laki
hanya akan mengalami mimpi. Kita terbiasa menyebut mimpi tersebut dengan
istilah mimpi basah. Setelah menikah laki-laki tidak akan berpotensi dan
tidak akan mengalami kehamilan. Karena hanya memiliki penis, kantung
sperma dan sperma untuk membuahi indung telur. Disinilah letak perbedaan
organ reproduksi dan pengalaman biologis antara perempuan dan laki-laki.
Jika perempuan mengalami menstruasi, setidak-tidaknya butuh waktu selama
seminggu. Itu pun jika lancar-lacar saja, karena pada beberapa perempuan di
hari-hari awal menstruasi mengalami sakit Premestrual (PMS). Sedangkan jika laki-laki
mengalami mimpi basah setidaknya hanya dalam hitungan menit saja (ini menurut
hasil penelitian lho) dan tentunya tidak mengalami sakit.
Selanjutnya, setelah menikah perempuan akan mengalami kehamilan selama sembilan
bulan, kemudian melahirkan dan mengalami nifas sekitar 40-60 hari. Bagaimana
dengan menyusui? Tentu menghabiskan waktu yang lebih lama lagi, dua tahu gaes.
Malah bertambah lama, bukan?
Jelas berbeda struktur, fungsi, dan pengalaman biologis antara laki-laki
dan perempuan. Perempuan cenderung mengalami kesakitan dan menghabiskan waktu
yang cukup lama ketika organ-organ reproduksinya sedang bekerja. Sangat berbeda
dengan laki-laki ketika organ reproduksinya sedang bekerja, tentunya tidak
membutuhkan waktu yang lama dan tidak merasa sakit.
Perbedaan pengalaman biologis yang dialami oleh perempuan dan laki-laki
tentunya harus disikapi dengan bijak. Kita tidak dapat menerapkan prinsip sama
rata dan sama rasa untuk menghadapi perbedaan ini. Hal tersebut harus disikapi
dan ditangani dengan proporsional, artinya harus sesuai dengan kebutuhannya
masing-masing dengan tetap mempertimbangkan kemaslahatan untuk keduanya. Misalnya,
perempuan membutuhkan cuti ketika sedang berada dalam siklus menstruasi, hamil
dan melahirkan. Sedangkan laki-laki tidak membutuhkan cuti tersebut karena
laki-laki tidak mengalami ketiga hal tersebut. Jadi tuan-tuan tak usah merasa cemburu
ya jika perempuan mengambil haknya untuk ketiga cuti tersebut. Inilah yang
disebut dengan proporsional, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Sampai sini
paham gaes?
Well, selanjutnya beralih pada lima pengalaman sosial yang dialami
oleh perempuan yang berbeda dengan laki-laki akibat konstruksi sosial dan
budaya masyarakat yang berkembang. Gaes, kalian pernah mendengar bahwa
perempuan adalah sumber fitnah? sehingga ‘ga baik kalau kelamaan di luar rumah’.
Nah, itu yang disebut dengan stigmatisasi perempuan dan hanya terjadi pada
perempuan lho.
Next, pernah mendengar pemaksaan pernikahan terhadap perempuan,
perempuan yang harus rela dipoligami dengan iming-iming surga, dan dijatuhkan
talak secara sepihak tanpa persetujuan terlebih dahulu, karena kewenangan
menjatuhkan talak ada pada laki-laki? Hal tersebut disebut dengan bentuk marginalisasi
terhadap perempuan dan hanya perempuan yang mengalaminya. Praktik marginalisasi
tersebut merupakan bentuk pengkerdilan terhadap perempuan yang jelas-jelas
merugikan perempuan.
Gaes, kalian tentunya pernah mendengar juga kan bahwa perempuan akan
dilaknat oleh malaikat hingga subuh jika suaminya meminta berhubungan seksual
tapi sang istri menolaknya. Karena legitimasi agama tersebut seolah perempuan
hanya menjadi objek seksual dan pilihan perempuan untuk menolak dianggap sebuah
bentuk pembangkangan. Malah, penolakan tersebut dibalas dengan ancaman yang lagi-lagi
hanya berbicara soal pahala atau dosa. Disitulah perempuan dipandang subordinat,
sebagai objek yang pilihan dan keputusannya dianggap tidak penting
dan dipinggirkan.
Atau, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seperti KDRT dalam
bentuk verbal, fisik, psikhis, intektual, finansial, seksual, spiritual, dan
lainnya. Kekerasan di ruang publik seperti siulan, seruan bernada pelecehan,
meraba bagian tubuh tertentu, memandang dengan tendensi seksual, dan lainnya. Kekerasan
di tempat kerja seperti tidak diberlakukannya cuti haid dan di-PHK pasca cuti
hamil dan melahirkan. Pertanyaannya, siapa korban-korban dari tindakan
kekerasan tersebut? Jawabannya tentu lagi-lagi adalah perempuan.
Terakhir adalah beban ganda. Bagi para perempuan yang bekerja di
ruang publik dapat dipastikan merasakan hal ini. Misalnya, selesai bekerja di
ruang publik dan pulang ke rumah ia masih dibebani tanggung jawab untuk bekerja
untuk hal-hal domestik seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan
lain-lain. Jika perempuan tidak melakukan kerja-kera domestik tersebut maka
dapat dipastikan ia menjadi bulan-bulanan suaminya dan khalayak ramai yang
masih menganggap bahwa pekerjaan domestik adalah kewajiban seorang istri dan
istri salah besar jika tidak dapat melaksanakan kerja-kerja domestik.
Lima pengalaman sosial ini yang amat sulit untuk dilepaskan dari kehidupan
perempuan, terlebih jika sudah menikah. Hal tersebut juga terjadi akibat pengaruh
budaya di masyarakat dan juga legitimasi dalih-dalih agama, seperti kebolehan
memukul istri yang kerap kali disalahpahami dan menimbulkan kekerasan demi kekerasan
terhadap perempuan.
Anehnya lagi, dalih-dalih agama serta konstruksi sosial di masyarakat
dianggap sebagai suatu hal dapat membawa kemaslahatan untuk bersama. Padahal jelas,
jika melakukan tindakan kekerasan atau stigmatisasi terhdap perempuan sama
sekali bukan hal yang dapat mendatangkan kebaikan untuk keduanya (perempuan dan
laki-laki), bahkan mendatangkan kerugian untuk salah satunya. Selain itu,
konstruksi sosial dan dalih agama sering kali hanya berbicara pada ranah norma
adat, pahala dan dosa sehingga melupakan sisi kemanusiaan.
Ditambah lagi jika kita berkomitmen untuk memulai dunia yang baru, dunia yang lebih ramah perempuan, satu hal yang harus diwaspadai yaitu mulut tetangga lebih ganas dari pada mulut harimau. Tapi tidak perlu khawatir, mari kita bungkam mulut-mulut harimau itu dengan semangat kesetaraan dan kemanusiaan. Sampai bertemu di tulisan berikutnya gaes. Cheers...
kereenn cece
BalasHapusSubhanalloh ceeu aku suka bngt bacanya:)
BalasHapus