Poligami; Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan
Credit gambar: https://www.voaindonesia.com/a/komnas-perempuan-praktik-poligami-adalah-kekerasan-terhadap-perempuan/4702669.html
Baru-baru
ini perbincangan soal poligami kembali mencuat ke permukaan pasca pernyataan
ketua umum PSI Grace Natalie dalam acara Festival 11 di Jatim Expo Surabaya
(11/12). Grace mengatakan "tidak akan mendukung kader, pengurus, dan
anggota legislatif mempraktikkan poligami". Pernyataan Grace tersebut
berdasarkan penelitian LBH APIK soal poligami yang menyimpulkan bahwa pada
umumnya praktik poligami menyebabkan ketidak adilan: perempuan yang disakiti
dan anak yang ditelantarkan.
Pernyataan
Grace bagai gayung bersambut. Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakhe'i juga
turut mengomentari sikap PSI tersebut. Menurut Imam, "Bagi kami Komnas
Perempuan, poligami adalah kekerasan terhadap perempuan." Lebih lanjut lagi
Imam menyatakan, ada tiga kategori posisi negara dalam konteks poligami, yakni
negara yang melarang, negara yang membatasi, dan negara yang mendiamkan atau
cenderung mengiyakan. Indonesia masuk dalam kategori negara yang membatasi
praktik poligami. Di Indonesia diiyakan tapi harus ada izin dari istri, dan
syarat lainnya yang seakan tidak memungkinkan terjadi praktik poligami, ucap
Imam pada saat menghadiri diskusi "Perempuan dan Politik: 'Bisakah
Poligami di Indonesia Dilarang?" (15/12) di Kuningan, Jakarta Selatan.
Memang
pemahaman mainstream soal poligami adalah sunnah Nabi Saw. Poligami juga
memiliki landasan di dalam al-Qur'an yang sering dianggap sebagai dalil untuk
berpoligami, yaitu Q.S an-Nisa : 4. Begini bunyi potongan ayatnya:
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dari
ayat di atas, sekilas bahwa poligami memiliki posisi yang sangat kuat dan tidak
bisa dibantah. Namun perdebatan demi perdebatan soal poligami masih sering
bermunculan. Yang pro terhadap poligami kekeuh bahwa itu adalah sunnah Nabi,
nabi juga melakukan poligami, dan jika dilakukan sah saja.
Sedangkan
pihak yang kontra menyatakan bahwa poligami sebagai sesuatu yang masih harus
dicari pembenarannya, bagi pihak yang kontra ini kata "adil" menjadi
kunci atas tindakan poligami. Jika tidak dapat berlaku adil, maka tidak perlu
berpoligami, jadi ya, monogami saja, begitu kalimat yang sering saya dengar. Hingga
pernyataan-pernyataan bahwa poligami bukan sunnah nabi, dan bukan ajaran Islam.
Selain
itu pihak kontra juga terus berupaya membeberkan fakta-fakta soal dalil
poligami di atas, ada yang berpendapat bahwa ayat di atas bukan anjuran
poligami, namun ayat di atas adalah ayat yang menjadi landasan bagi wali yang
diamanahi harta waris anak yatim, wali dari anak-anak tersebut hanya berusaha
menguasai harta warisan orang tuanya, maka dinikahilah anak-anak yatim
tersebut. Tetapi jika mereka yang menikahi anak-anak yatim tidak dapat berlaku
adil terhadap hak-hak perempuan yatim, maka kawini saja perempuan lain yang
disenangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi kemudian, jika tidak dapat berlaku
adil, maka bermonogami saja. Selain itu, Prof. Dr. Quraish Sihab berpendapat,
Rasulullah Saw. Bermonogami selama 25 tahun, dan setelah 3 atau 4 tahun dari
wafatnya Khadijah RA, beliau baru menggauli Aisyah RA. Artinya Rasulullah
berpoligami dalam waktu 8 tahun, lebih singkat dibanding waktu bermonogami.
Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak tersebut yang diteladani?
Tapi,
jika masih memungkinkan menyuarakan pernyataan berdasarkan data, Kekerasan
Terhadap Istri (KTI) dapat terjadi pasca suami berpoligami, seperti kekerasan
fisik, psikis, penelantaran ekonomi, hingga memicu perceraian. Berdasarkan
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, ada 1596 kasus perceraian akibat
poligami pada tahun 2017. Dan 5451 kasus perceraian akibat poligami pada 2016.
Selain itu, Imam Nakhei juga menyampaikan, pelaku poligami dapat dikenakan
pidana. Sebab pada umumnya mereka yang melakukan pernikahan tidak dicatatkan
biasanya adalah pernikahan kedua atau ketiga. Dalam peraturan kekerasan
terhadap perempuan, poligami menjadi salah satu penyebab timbulnya kekerasan.
"Poligami bisa menyebabkan kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi,"
tambah Imam.
Selain itu, Imam juga menyampaikan sejatinya di Indonesia sudah ada tiga undang-undang yang
mengatur praktik poligami. Artinya, poligami sebenarnya bisa dipidana. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 279 mengatur soal perkawinan tidak
tercatat – dan poligami umumnya tidak tercatat – tetapi penerapan pasal itu
masih tidak efektif karena berbenturan dengan doktrin-doktrin agama.
Ada pula Pasal 45 dan 49
Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menyebutkan praktik
kawin kedua dan seterusnya tanpa ada izin istri pertama adalah tindak kekerasan
terhadap perempuan dan itu bisa dipidanakan. Pasal ini, kata Kiai Imam, bukan
delik aduan, tapi delik umum. Kemudian ada Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 yang juga menerapkan syarat-syarat sangat ketat untuk praktik
poligami, termasuk harus mendapat izin dari istri.
Lantas bagaimana solusi yang bisa
ditawarkan untuk menekan angka praktik poligami di Indonesia? padahal jelas
sudah ada tiga undang-undang yang mengatur praktik poligami di Indonesia.
Aktivis LBH APIK Ratna Batara
Munti menilai larangan berpoligami seharusnya menjadi kebijakan tegas di
Indonesia. Ratna mengakui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
harus diamandemen supaya sinkron dengan berbagai aturan terbaru, antara lain
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Ratna juga menyampaikan UU Perkawinan
memang berasaskan monogami, tetapi dinilai masih memberi peluang untuk adanya
pelanggaran terhadap asas monogami tersebut. “Ketika poligami syaratnya katanya
adil, faktanya yang paling banyak adalah meninggalkan kewajibannya. Pergi dan
tinggal sama istri yang muda, menelantarkan keluarganya yang pertama. Poligami
selain diskriminasi, dampaknya memang banyak sekali kekerasan dalam rumah
tangga,” Praktik poligami lanjutnya sekarang kian mengerikan dan hanya atas
dasar syahwat semata, yakni dimulai dengan perzinahan atau perselingkuhan.
Komentar
Posting Komentar