Poligami; Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan




Baru-baru ini perbincangan soal poligami kembali mencuat ke permukaan pasca pernyataan ketua umum PSI Grace Natalie dalam acara Festival 11 di Jatim Expo Surabaya (11/12). Grace mengatakan "tidak akan mendukung kader, pengurus, dan anggota legislatif mempraktikkan poligami". Pernyataan Grace tersebut berdasarkan penelitian LBH APIK soal poligami yang menyimpulkan bahwa pada umumnya praktik poligami menyebabkan ketidak adilan: perempuan yang disakiti dan anak yang ditelantarkan.

Pernyataan Grace bagai gayung bersambut. Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakhe'i juga turut mengomentari sikap PSI tersebut. Menurut Imam, "Bagi kami Komnas Perempuan, poligami adalah kekerasan terhadap perempuan." Lebih lanjut lagi Imam menyatakan, ada tiga kategori posisi negara dalam konteks poligami, yakni negara yang melarang, negara yang membatasi, dan negara yang mendiamkan atau cenderung mengiyakan. Indonesia masuk dalam kategori negara yang membatasi praktik poligami. Di Indonesia diiyakan tapi harus ada izin dari istri, dan syarat lainnya yang seakan tidak memungkinkan terjadi praktik poligami, ucap Imam pada saat menghadiri diskusi "Perempuan dan Politik: 'Bisakah Poligami di Indonesia Dilarang?" (15/12) di Kuningan, Jakarta Selatan.
Memang pemahaman mainstream soal poligami adalah sunnah Nabi Saw. Poligami juga memiliki landasan di dalam al-Qur'an yang sering dianggap sebagai dalil untuk berpoligami, yaitu Q.S an-Nisa : 4. Begini bunyi potongan ayatnya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dari ayat di atas, sekilas bahwa poligami memiliki posisi yang sangat kuat dan tidak bisa dibantah. Namun perdebatan demi perdebatan soal poligami masih sering bermunculan. Yang pro terhadap poligami kekeuh bahwa itu adalah sunnah Nabi, nabi juga melakukan poligami, dan jika dilakukan sah saja.

Sedangkan pihak yang kontra menyatakan bahwa poligami sebagai sesuatu yang masih harus dicari pembenarannya, bagi pihak yang kontra ini kata "adil" menjadi kunci atas tindakan poligami. Jika tidak dapat berlaku adil, maka tidak perlu berpoligami, jadi ya, monogami saja, begitu kalimat yang sering saya dengar. Hingga pernyataan-pernyataan bahwa poligami bukan sunnah nabi, dan bukan ajaran Islam.

Selain itu pihak kontra juga terus berupaya membeberkan fakta-fakta soal dalil poligami di atas, ada yang berpendapat bahwa ayat di atas bukan anjuran poligami, namun ayat di atas adalah ayat yang menjadi landasan bagi wali yang diamanahi harta waris anak yatim, wali dari anak-anak tersebut hanya berusaha menguasai harta warisan orang tuanya, maka dinikahilah anak-anak yatim tersebut. Tetapi jika mereka yang menikahi anak-anak yatim tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim, maka kawini saja perempuan lain yang disenangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi kemudian, jika tidak dapat berlaku adil, maka bermonogami saja. Selain itu, Prof. Dr. Quraish Sihab berpendapat, Rasulullah Saw. Bermonogami selama 25 tahun, dan setelah 3 atau 4 tahun dari wafatnya Khadijah RA, beliau baru menggauli Aisyah RA. Artinya Rasulullah berpoligami dalam waktu 8 tahun, lebih singkat dibanding waktu bermonogami. Jika demikian, mengapa bukan masa yang lebih banyak tersebut yang diteladani?

Tapi, jika masih memungkinkan menyuarakan pernyataan berdasarkan data, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dapat terjadi pasca suami berpoligami, seperti kekerasan fisik, psikis, penelantaran ekonomi, hingga memicu perceraian. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, ada 1596 kasus perceraian akibat poligami pada tahun 2017. Dan 5451 kasus perceraian akibat poligami pada 2016. Selain itu, Imam Nakhei juga menyampaikan, pelaku poligami dapat dikenakan pidana. Sebab pada umumnya mereka yang melakukan pernikahan tidak dicatatkan biasanya adalah pernikahan kedua atau ketiga. Dalam peraturan kekerasan terhadap perempuan, poligami menjadi salah satu penyebab timbulnya kekerasan. "Poligami bisa menyebabkan kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi," tambah Imam.

Selain itu, Imam juga menyampaikan sejatinya di Indonesia sudah ada tiga undang-undang yang mengatur praktik poligami. Artinya, poligami sebenarnya bisa dipidana. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 279 mengatur soal perkawinan tidak tercatat – dan poligami umumnya tidak tercatat – tetapi penerapan pasal itu masih tidak efektif karena berbenturan dengan doktrin-doktrin agama.
Ada pula Pasal 45 dan 49 Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menyebutkan praktik kawin kedua dan seterusnya tanpa ada izin istri pertama adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan itu bisa dipidanakan. Pasal ini, kata Kiai Imam, bukan delik aduan, tapi delik umum. Kemudian ada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang juga menerapkan syarat-syarat sangat ketat untuk praktik poligami, termasuk harus mendapat izin dari istri.
Lantas bagaimana solusi yang bisa ditawarkan untuk menekan angka praktik poligami di Indonesia? padahal jelas sudah ada tiga undang-undang yang mengatur praktik poligami di Indonesia.
Aktivis LBH APIK Ratna Batara Munti menilai larangan berpoligami seharusnya menjadi kebijakan tegas di Indonesia. Ratna mengakui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus diamandemen supaya sinkron dengan berbagai aturan terbaru, antara lain Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Ratna juga menyampaikan UU Perkawinan memang berasaskan monogami, tetapi dinilai masih memberi peluang untuk adanya pelanggaran terhadap asas monogami tersebut. “Ketika poligami syaratnya katanya adil, faktanya yang paling banyak adalah meninggalkan kewajibannya. Pergi dan tinggal sama istri yang muda, menelantarkan keluarganya yang pertama. Poligami selain diskriminasi, dampaknya memang banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga,” Praktik poligami lanjutnya sekarang kian mengerikan dan hanya atas dasar syahwat semata, yakni dimulai dengan perzinahan atau perselingkuhan.
 Hal tersebut dapat menjadi gambaran betapa poligami bukan merupakan pilihan yang melulu menjanjikan kebahagiaan. Sekalipun poligami dipercaya sebagai sunnah Nabi, tapi bagaimana jika poligami malah mendatangkan kemadharatan untuk kedua belah pihak. Tentunya ada salah satu pihak yang merasa dirugikan akibat poligami. Tapi saya kira, setiap sunnah adalah tidak memberatkan dan tidak mendatangkan kemadharatan. Jika setelah berpoligami malah melakukan kekerasan ekonomi terhadap istri dan keluarga, atau tidak mampu berlaku adil, sebaiknya poligami tidak dielu-elukan sebagai teladan mutlak dari Nabi Saw. berdasarkan fakta-fakta yang disajikan di atas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Pengalaman, Beda Perlakuan

Leadership in Student Organization: Leader Mentality Starts From Our Mind

Fenomena Crimes of Honor di Timur Tengah