Kiyai Berpersfektif Adil Gender dari Menes (Bagian 1)
Kiyai
Berpersfektif Adil Gender dari Menes
Pada International Women Day di tahun
2020, ada satu tulisan yang menarik untuk diangkat kembali. Tulisan ini adalah buah pikir dari almagfurlah
KH. Tb. A. Ma’ani Rusjdi, seorang Kiyai asal Menes, salah satu kecamatan yang
berada di Kabupaten Pandeglang-Banten. Ia menulisnya sekitar tahun 2000 di
usianya yang ke 75 tahun. Tulisan ini juga tidak banyak dibaca dan diketahui
oleh santri-santrinya. Ternyata guru yang menjadi panutan pernah mengemukakan pendapatnya
mengenai “perempuan”.
Apa yang pernah dituliskan oleh almagfurlah 20 tahun yang lalu mengenai “posisi perempuan
dalam Islam” ternyata sampai hari ini masih terus dibahas oleh berbagai kalangan.
Berikut sari tulisan almagfurlah yang
dikutip dari buku 75 Tahun Pengabdian KH. Tb. A. Ma’ani Rusydi.
Pandangan
terhadap Perempuan dalam Islam
Allah Swt. menciptakan segala makhluk
baik yang dapat diindra oleh mata maupun yang tak dapat diindra oleh mata dengan
berpasang-pasang, seperti adanya Jin dan Syaithan, ada bumi ada langit. Selain itu
Allah Swt. juga menciptakan perasaan berpasang-pasang, seperti ada rasa bahagia
dan sedih, ada kesulitan dan kemudahan. Segala yang berpasang-pasang tersebut
adalah sebagai tanda kebesaran Allah Swt. yang membuktikan bahwa setiap makhluk
(ciptaan Allah) adalah dhaif dan fana.
Selanjutnya Allah Swt. Menciptakan manusia
sebagai ciptaannya yang sempurna dan sebagai makhluk yang mampu menerima amanah
dari-Nya. Kesempurnaan manusia sebagai ciptaan Allah Swt. disampaikan dalam Q.S
At-Tin: 4
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
Sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
Manusia adalah makhluk yang sempurna
secara fisik, dan spiritual. Dalam diri
manusia terdapat dua dimensi, yaitu akal dan tubuh kasar (jasad). Di dalam
jasad ini terapat kelamin, ada manusia yang berkelamin laki-laki dan ada
manusia yang berkelamin perempuan. Akan tetapi dalam hal nafs (jiwa) Allah menjadikan manusia dalam nafs (jiwa) yang satu—min nafs al wahid.
Karenanya nafs manusia dalam dimensi spiritual, seperti kekuatan akal dan kemampuan
untuk berpikir adalah memiliki kadar yang sama, yaitu sama-sama dapat berpikir
dan sama-sama memiliki akal. Kedepannya tergantung kesempatan dan kemauannya
dalam menggunakan potensi akal tersebut, sebesar dan sejauh mana ia mau
menggunakan dan mengasah kemampuannya. Sehingga tidak ada yang saling
megungguli antara laki-laki dan perempuan kecuali keimanan dan ketaqwaan. Selain
ketaqwaan, yang membedakan atar manusia adalah mereka yang memiliki amalan (perbuatan)
terbaik. Hal tersebut disampaikan dalam Q.S Al-Mulk: 2
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya
Yang harus
menjadi perhatian dalam ayat tersebut adalah ayat tersebut tidak berbunyi “ayyukum aktsaru ‘amala” (siapa di antara
kamu yang paling banyak amalnya) dan tidak juga menggunakan dhomir (kata ganti) yang khusus menunjuk kepada laki-laki,
tetapi menunjukkan kepada perempuan dan laki-laki yang beramal dengan amal yang
terbaik.
Dari ayat-ayat yang disampaikan di
atas jelas bahwa Rasulullah Saw. diutus diantara tugasnya adalah menyampaikan
wahyu-wahyu mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan di muka bumi ini. Ia diutus sebagai rahmatan lil alamin, membawa wahyu-wahyu yang menyerukan untuk
menghormati dan memposisikan perempuan sama mulianya dengan laki-laki, seperti firman
Allah dalam Q.S Al-Isra: 70:
وَ لَقَدۡ کَرَّمۡنَا بَنِیۡۤ
اٰدَمَ
Dan
sungguh telah kami muliakan keturunan Adam
Sungguh telah
Allah muliakan keturunan Adam, kemuliaan itu tidak terletak pada jenis kelaminnya,
tetapi tergantung tingkat ketaqwaannya. Ayat ini juga menjadi antitesis
terhadap perilaku suku Quraish dimana Rasulullah dilahirkan dan dibesarkan yang
memiliki paham fathernalisik/patrilinear/patriarkhi, yaitu sebuah sebuah paham
yang memposisikan laki-laki di atas segala-galanya dan setinggi-tingginya.
Melalui wahyu Allah
Swt. yang diturunkan oleh perantara malaikat Jibril kepada Rasulullah, ia tidak
diutus untuk menyebarkan paham suatu kaum apalagi paham kaum Quraish yang patriarkhi,
ia malah menjadi antithesis atas apa yang terjadi dan dilakukan oleh kaumnya dalam
kurun waktu yang lama, yaitu memposisikan perempuan serendah-rendahnya dan
sehina-hinanya. Budaya Patriarkhi pada suku Quraish dibuktikan dengan satu
peristiwa ketika sahabat Umar ibn Khattab sebelum beragama Islam yang merasa
kehidupannya terhina dan terganggu akibat istrinya melahirkan seorang anak
perempuan. Istrinya tahu betul bahwa suaminya akan marah besar jika ia
melahirkan seorang anak perempuan. Sebab itu sejak lahir hingga berusia balita
putri dari Umar ibn Khattab diperlakukan layaknya laki-laki, Umar mengajarinya
bergulat, berpedang, dan memanah. Dan benar saja ketika Umar mengetahui bahwa anaknya
adalah seorang perempuan, ia naik pitam dan mengubur putrinya hidup-hidup sebagai
sebuah hukuman.
Dari sini dapat
dibedakan mana yang merupakan budaya dan mana yang merupakan perintah Allah dan
Rasulnya. Suku Quraish yang memposisikan seorang perempuan sehina-hinanya dan
serendah-rendahnya adalah budaya, sedangkan perintah Allah adalah memuliakan
perempuan, menganggapnya setara dengan laki-laki, dan menafikan keunggulan laki-laki atas perempuan. Disinilah dibutuhkannya pemikiran kritis dan pemahaman mengenai sosiokultural dari kebiasaan suatu kaum, dan latar belakang diturunkannya sebuah syari'at agar dapat dipahami dan dibedakan mana budaya yang kemudian diklaim menjadi syar'iat dan mana syar'iat yang kemudian menjadi budaya atau kebiasaan di kemudian hari.
Semoga bermanfaat.
Selamat hari Perempuan
Internasional…
Perempuan berkarya,
perempuan berdaya…
Each for equal.
Komentar
Posting Komentar